Para penyuka aroma vanila mungkin bakal jijik bahkan ilfeel mendengar hasil penelitian yang satu ini. Aroma vanila ternyata mirip bau dubur berang-berang. Menurut sebuah studi tahun 2007 di International Journal of Toxicology, dubur berang-berang mengeluarkan goo alias zat lengket atau berlendir yang disebut castoreum, yang digunakan hewan untuk menandai wilayah mereka.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (Food and Drug Administration/FDA) AS mencantumkan castoreum sebagai zat aditif yang secara umum dianggap aman, dan produsen wewangian telah menggunakannya secara ekstensif dalam parfum dan makanan selama setidaknya 80 tahun.
“Saya mengangkat ekor hewan itu, dan saya seperti menempelkan hidung di dekat pantatnya,” kata Joanne Crawford, seorang ahli ekologi satwa liar dari Southern Illinois University, seperti dikutip dari National Geographic. “Orang-orang mengira saya gila. Saya memberi tahu mereka, bahwa dubur berang-berang punya bau yang enak,” sambungnya.
Castoreum adalah senyawa kimia yang sebagian besar berasal dari kantung dubur berang-berang, yang terletak di antara panggul dan pangkal ekor. Karena letaknya yang dekat dengan kelenjar anal, castoreum sering kali merupakan kombinasi dari sekresi kelenjar dubur, sekresi kelenjar anal, dan urine. “Lendir coklat yang harum memiliki konsistensi molase, meskipun tidak terlalu kental,” kata Crawford.
Sementara sebagian besar sekresi anal berbau busuk karena bakteri penghasil bau di usus, senyawa kimia ini adalah produk dari pola makan berang-berang yang unik, terdiri dari daun dan kulit kayu. Alih-alih berbau menjijikkan, castoreum memiliki aroma musky vanila, itulah sebabnya para ahli dan ilmuwan makanan suka memasukkannya ke dalam resep.
Namun, membuat berang-berang agar menghasilkan kantung dubur untuk keperluan pengolahan makanan adalah hal yang sulit. Ahli makanan yang bertekad mendapatkan zat lengket tersebut harus membius hewan tersebut dan kemudian memerah bagian bawahnya. “Anda bisa memerah kelenjar anus untuk bisa mengekstrak cairannya, untuk menyemprotkan castoreum agar keluar. Ini sangat menjijikkan,” kata Crawford.
Perburuan berang-berang
Rasa vanila pada makanan yang dibuat secara massal di pabrik memang tidak berasal dari tanaman vanila asli. Ini berkaitan dengan harga vanila yang sangat mahal, apalagi kalau digunakan dalam jumlah yang sangat banyak.
Produsen makanan tentu tak mau menanggung kerugian untuk membeli banyak vanila. Salah satu solusinya yakni menggunakan castoreum. Saking banyak perusahaan yang mencari ekstrak dubur berang-berang, akhirnya banyak perburuan liar yang kemudian membuat populasi berang-berang semakin sedikit.
Menurut Robert Chilcott dari University of Hertfordshire, ekstrak dubur berang-berang ini sudah sedikit digunakan karena perburuan liar yang dilarang di berbagai negara. Sebagai gantinya, ada bahan alami berbasis tumbuhan yang juga menghasilkan aroma mirip vanila.
“Seorang ahli kimia asal Jerman menemukan bahwa vanillin (salah satu bahan kimia yang bertanggung jawab atas rasa vanila) dapat diekstraksi dari berbagai tumbuhan. Ekstrak tumbuhan ini kemudian dikenal sebagai vanili sintetis,” ujar Robert.
Penggunaan vanila sintetis pada bahan makanan saat ini mencapai angka 94% atau sekitar 37.286 ton per tahunnya. Sementara sisanya yakni 6% produk makanan dibuat dengan mencampurkan vanila asli. Ditemukannya ekstrak vanila dari tumbuhan ini menjadikan perburuan kantung dubur berang-berang lambat laun berhenti. Kini produsen makanan berhenti menggunakan ekstrak dubur berang-berang.
Meskipun demikian, ada satu minuman khas Swedia yang masih diolah menggunakan ekstrak dubur berang-berang. Minuman ini dikenal dengan sebutan Bäverhojt dan dibuat dengan cara merendam dubur berang-berang di dalam botol. Jadi, apakah aroma vanila yang kalian rasa dan hirup berasal dari dubur berang-berang? Karena label FDA-nya, dalam beberapa kasus, produsen tidak perlu mencantumkan castoreum pada daftar bahan dan malah menyebutnya sebagai penyedap alami. Hmmm mungkin kalian bisa menebaknya sendiri.