Kesuksesan pembuatan sistem sandi tak lepas dari sosok dr Roebiono Kertopati. Ia ditunjuk langsung oleh Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin untuk membuat sistem sandi. Ia dipilih meski tak memiliki latar belakang pendidikan formal di bidang persandian.
Tak banyak cerita yang mengungkap mengenai orang yang juga pernah menjadi dokter pribadi Presiden Soekarno ini. Namun, buku “Konsep Naskah Sejarah Persandian di Indonesia” yang ditulis oleh Tim Penulisan Sejarah Persandian Indonesia terbitan Jakarta 1986 menyebutkan, kecakapannya di dunia intelijen tak diperoleh melalui pendidikan formal, pun kemampuannya dalam menyusun sandi.
Semuanya berdasar pada pengalaman pribadi Roebiono saat bertugas sebagai dokter. “Memang tidak banyak referensi mengenai dr Roebiono, mungkin terkait dengan posisinya yang berkaitan dengan rahasia negara,” kata Tampil Chandra Noor Gultom, Subbag Infomed-Bagian Humas dan Kerja sama Museum Sandi, kepada Kompas.com beberapa waktu lalu.
Roebiono lahir dari keluarga ningrat Raden Ngabehi Soewardjo Kertopati pada tanggal 11 Maret 1914. Ia telah memiliki keinginan besar untuk menjadi dokter sehingga melanjutkan belajar kedokteran di NIAS, Surabaya. Kariernya sebagai dokter dimulai pada tahun 1941 dengan bekerja sebagai dokter di GOW Indisch Arts.
Lalu ia kemudian pindah bekerja di Sydney, Australia, ia bertugas sebagai tenaga medis pada Allied Intelligence Bureau. Sedikit demi sedikit Roebiono bersentuhan dengan dunia intelijen. Ia banyak bertemu dengan orang-orang yang sedang melaksanakan operasi yang bersifat rahasia. Beberapa di antaranya bahkan menceritakan kepada Roebiono mengenai operasi yang mereka lakukan.
Hal itu membuat pengetahuannya mengenai intelijen makin banyak. Tampaknya itu cukup menjadi dasar bagi Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin untuk menunjuk dr Roebiono untuk menyusun sebuah sistem sandi. Namun, sebenarnya pengetahuan dr Roebiono mengenai sandi masih minim. Meski begitu, ia tetap menerima penugasan yang diberikan kepadanya.
Hingga akhirnya dengan penuh ketelitian disusun sebuah buku sandi bernama Buku Code C yang berisi sekitar 10.000 kata termasuk tanda baca, awalan, dan akhiran, penamaan, serta bentuk lain yang dijumpai dalam teks berita. Sistem kode yang dipakai adalah sistem kode angka. Sistem kode ini berupa bilangan-bilangan yang dipakai sebagai penjumlah dari kode yang telah ada. Angka dari nol sampai sembilan dan pemakaiannya sebagai penjumlah dapat ditentukan sesuka pemakai.
Sistem yang dibuat Roebiono ini termasuk sebagai sistem yang kuat dan dikenal sebagai sistem double encipherment. “Ia adalah jenius yang dimiliki oleh Indonesia. Kepintarannya tak diragukan lagi, ia menguasai empat bahasa serta mampu menulis dengan dua tangan dalam waktu bersamaan,” imbuh Tampil. Roebiono dikenal sebagai pendiri Dinas Kode pada Kementerian Pertahanan Bagian B yang berubah menjadi Jawatan Sandi dan sekarang menjadi Lembaga Sandi Negara.
Ia menjabat sebagai Ketua Lembaga Sandi negara selama 38 tahun sejak pertama kali berdiri tanggal 4 April 1946. Roebiono dianggap paling mampu mengelola persandian di Indonesia dan menjadi penentu kebijaksanaan persandian Indonesia. Pada tanggal 23 Juli 1984, Roebiono meninggal dunia karena sakit. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Semasa hidupnya, ia telah mendapat 11 bintang jasa dari Pemerintah Indonesia.
Kemerdekaan Indonesia memang sudah dikumandangkan pada 17 Agustus 1945. Namun situasi di dalam negeri masih carut marut. Apalagi Belanda masih terus berusaha mengambil alih Republik sepanjang tahun 1946-1949. Di masa genting ini, pemerintahan yang sudah terbentuk merasa perlu menjaga informasi rahasia dari musuh.
“Indonesia merasa tidak aman, apalagi ada beberapa informasi yang bocor,” kata Tampil Chandra Noor Gultom, Subbag Infomed-Bagian Humas dan Kerja sama Museum Sandi. Saat itu Indonesia yang baru merdeka belum memiliki sistem pengamanan informasi yang baik. Termasuk soal belum adanya sistem sandi yang mampu mengamankan informasi yang bersifat rahasia. Tampil menjelaskan, Indonesia memang telah memiliki sistem persandian. Namun, itu dikelola oleh masing-masing kementerian.
Sistem persandian yang digunakan untuk menyembunyikan informasi itu pun masih sangat sederhana dan sama sekali tidak didukung dengan pengetahuan mengenai kriptologi. “Jika kurir tertangkap, Belanda dengan mudah memecahkan sandi-sandi tersebut,” terang Tampil. Informasi yang dibawa kurir berisi perintah-perintah untuk melaksanakan suatu operasi. Jika sampai terpecahkan, operasi bisa gagal
Kondisi yang mendesak untuk mengamankan informasi ini membuat Menteri Pertahanan saat itu Amir Syarifoeddin meminta Dr. Roebiono Kertopati untuk membuat sistem sandi atau kode yang akan digunakan oleh seluruh kementerian. Dr. Roebiono dipilih karena telah memiliki beberapa pengalaman di bidang intelijen. Kepintarannya tak diragukan lagi. Ia menguasai empat bahasa serta mampu menulis dengan dua tangan dalam waktu bersamaan.
Buku Konsep Naskah Sejarah Persandian di Indonesia terbitan Jakarta 1986 menyebut bahwa sistem sandi bikinan Dr Roebiono dapat dikategorikan sebagai sistem yang kuat. Dibutuhkan sebuah buku acuan untuk membaca sandi-sandi tersebut. Roebiono menulis Buku Kode C, berisi 10.000 kata termasuk tanda baca, awalan dan akhiran, penamaan serta bentuk lain yang dijumpai dalam teks berita.
Buku yang kemudian digandakan sebanyak 6 eksemplar tersebut yang menjadi acuan dalam pembuatan dan pembacaan sandi. Sandi akan sulit terpecahkan, kecuali Buku Code C jatuh ke tangan musuh. Kesuksesan pembuatan sandi ini akhirnya berhasil menghubungkan informasi rahasia di wilayah kedaulatan Indonesia serta delegasi Indonesia di berbagai negara.