Category Archives: Kesehatan

Nyamuk Hasil Rekayasa Bill Gates Mulai Dilepas Di Yogyakarta


Dalam blog terbarunya, Bill Gates membahas panjang lebar soal bahaya nyamuk bagi manusia, misalnya menularkan demam berdarah. Ia pun menyinggung kunjungannya ke Indonesia, tepatnya di kota Yogyakarta. Jadi, yayasan Bill & Melinda Gates Foundation mendukung riset global, di mana nyamuk Aedes aegypti yang menularkan demam berdarah, diberi bakteri bernama Wolbachia. Nah, Universitas Gadjah Mada di Yogya adalah salah satu kampus yang menggelar penelitian itu.

Bill Gates pernah berkunjung langsung ke Yogyakarta pada tahun 2014. UGM menjadi bagian dari program global berupa terobosan baru menangkal demam berdarah. Caranya adalah dengan memasukkan bakteri bernama Wolbachia kepada nyamuk untuk mengendalikannya.

“Wolbachia muncul alami di 70% dari semua serangga dan tak berbahaya bagi manusia. Ia dapat menghalangi penularan demam berdarah oleh nyamuk. Sayangnya, jenis nyamuk yang membawa demam berdarah, Aedes aegypti, tak secara alami mendapat Wolbachia. Tapi sekelompok ilmuwan menemukan cara menginfeksi mereka,” tulis Bill Gates di blognya pada tahun 2014 usai kunjungan ke Yogya.

Koloni nyamuk yang sudah mengandung Wolbachia pun dilepaskan. Harapannya, mereka akan berkembang biak dengan nyamuk liar dan mencegah penyebaran demam berdarah. “Bekerja sama dengan komunitas lokal, periset pertama kali melepaskan nyamuk Wolbachia di Australia pada 2011. Di Januari 2014, dengan dukungan pemerintah dan warga, tim Indonesia mulai melepaskannya di rumah sekitar Yogyakarta, Dalam kunjungan saya, saya berkesempatan melepaskan lusinan nyamuk Wolbachia ke alam liar,” tulis Bill Gates.

Kini delapan tahun sudah berlalu sejak kunjungan ke Yogyakarta itu. Bill Gates menyebut program nyamuk yang mengandung Wolbachia sukses besar menangkal demam berdarah. Uji coba yang digelar secara random di Yogyakarta menunjukkan nyamuk yang sudah mengandung Wolbachia menurunkan kasus demam berdarah sampai 77%. Di Medelin, Kolombia, kasus demam berdarah bahkan anjlok 89%.

“Hasil itu adalah terobosan besar, menunjukkan bukti teknologi baru ini akan melindungi seluruh kota dan negara melawan ancaman penyakit dari nyamuk. World Mosquito Program kini melepaskan nyamuk itu di 11 negara, Brasil, Kolombia, Meksiko, Indonesia, Sri Lanka, Vietnam, Australia, Fiji, Kiribati, New Caledonia, dan Vanuatu,” papar Bill Gates di tulisan blog terbarunya.

Apa binatang yang paling berbahaya? Ternyata bukan hewan buas semacam beruang atau hiu, melainkan nyamuk. Ya, nyamuk banyak membunuh manusia dengan penyakit demam berdarah, malaria dan lainnya. Untungnya menurut Bill Gates, sudah ada solusi untuk menangkalnya. “Apakah kita bisa mengakali binatang paling berbahaya di dunia?” demikian judul artikel baru di blog Bill Gates, yang membahas tentang bahaya nyamuk dan penanggulangannya. Bill Gates membahas bagaimana jutaan nyamuk sengaja dilepaskan dari laboratorium dengan bakteri ampuh bernama Wolbachia.

“Nyamuk yang dihasilkan dari pabrik itu membawa bakteri bernama Wolbachia yang menghalangi mereka menularkan demam berdarah dan virus lain semacam Zika, chikunguya dan lainnya pada manusia,” tulis sang pendiri Microsoft. Bakteri itu akan menyebar begitu nyamuk berkembang biak sehingga makin banyak yang tidak menularkan penyakit. Bill Gates pun menyinggung soal kunjungannya di Yogyakarta sebagai salah satu pusat penelitian bakteri Wolbachia, tepatnya di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

“Itu adalah eksperimen dari World Mosquito Program, yang bekerja untuk menghentikan penyebaran demam berdarah dan penyakit lainnya, yang telah dilangsungkan di Yogyakarta. Yayasan kami mendanai riset ini. Di 2014, aku mendatangi Yogyakarta untuk melihat awal dari pekerjaan ini,” tulisnya.

Riset itu ternyata sukses besar. Uji coba yang digelar di Yogyakarta menunjukkan nyamuk yang sudah mengandung Wolbachia menurunkan kasus demam berdarah sampai 77%. Di Medelin, Kolombia, kasus demam berdarah bahkan anjlok 89%. “Hasil itu adalah terobosan besar, menunjukkan bukti teknologi baru ini akan melindungi seluruh kota dan negara melawan ancaman penyakit dari nyamuk. World Mosquito Program kini melepaskan nyamuk itu di 11 negara, Brasil, Kolombia, Meksiko, Indonesia, Sri Lanka, Vietnam, Australia, Fiji, Kiribati, New Caledonia, dan Vanuatu,” papar Bill Gates.

Pandemi Black Death Berasal Dari Kyrgyzstan


Pandemi black death yang berlangsung di abad ke-14 masih menyisakan misteri. Sampel DNA kuno dari sebuah pemakaman di Jalur Sutera memberi petunjuk tentang asal-usul wabah paling mematikan dalam sejarah tersebut. Para ilmuwan yang meneliti menyimpulkan bahwa sebuah wilayah di utara Kyrgyzstan sebagai titik awal persebaran bubonic plague alias wabah black death. Mereka menemukan jejak bakteri Yersinia pestis di gigi 3 wanita yang terkubur di lembah Chu, dekat danai Issyk Kul di kaki gunung Tian Shan.

Jejak tersebut diperkirakan berasal dari periode tahun 1338-1339. Sementara itu, kematian paling awal terdokumentasikan di tempat lain yakni pada 1346. “Temuan kami bahwa black death bermula dari Asia Tengah di tahun 1330-an mengakhiri debat selama berabad-abad,” kata Philips Slavin dari University of Stirling di Skotlandia, dikutip dari Reuters.

Jalur Sutera di masa lalu merupakan rute berbagai kereta yang membawa banyak barang dari China ke berbagai penjuru benua, termasuk ke Konstantinopel dan Persia. Diyakini, pandemi meluas dengan menumpang kereta-kereta tersebut. “Ada beberapa hipotesis yang berbeda bahwa pandemi bermula dari Asia Timur, khususnya China, di Asia Tengah di India, atau di tempat wabah pertama terdokumentasikan pada 1346 di wilayah Laut Hitam dan Laut Kaspia,” kata Maria Spyrou dari University of Tubingen di Jerman.

“Kita tahu bahwa perdagangan mungkin menjadi faktor penentu persebaran pes ke Eropa pada awal Black Death. Cukup beralasan untuk membuat hipotesis bahwa proses serupa menentukan persebaran penyakit dari Asia Tengah ke Laut Hitam antara 1338-1346,” jelasnya.

Black death merupakan salah satu pandemi paling mematikan dalam sejarah. Diperkirakan wabah ini membunuh 50-60 persen populasi Eropa Barat dan 50 persen di Timur Tengah, mencakup 5-60 juta kematian. Sejumlah besar kematian tercatat di Kaukakus, Iran dan Asia Tengah.

Tidak Puas Dengan Kinerja IDI … Organisasi Profesi Dokter Baru Terbentuk


Staf Khusus Mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mendeklarasikan organisasi profesi dokter baru yakni Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI), Rabu (27/4). Anggota PDSI disebut sudah tersebar di seluruh provinsi Indonesia dengan setidaknya 514 kabupaten atau kota. Anggota yang tergabung dengan PDSI wajib keluar dari organisasi profesi dokter lain seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Kemunculan PDSI disebut sudah sah dan diakui negara lantaran mengantongi izin SK Kemenkumham No. AHU003638.AH.01.07.2022 tentang Pengesahan Pendirian Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia.

“Adapun berdirinya perkumpulan ini adalah dalam memenuhi hak Warga Negara Indonesia dalam berserikat dan berkumpul yang dijamin Pasal 28 UUD 1945 selaku konstitusi tertinggi di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hak kami ini telah dijawantahkan dalam SK Kemenkumham tersebut,” sebut dr Jajang dalam keterangan tertulis, Rabu (27/4/2022).

Baca juga: Anak Buah dr Terawan Deklarasikan PDSI, Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia
Berikut susunan organisasi Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI).

  • Ketua Umum: Brigjen TNI (Purn) dr Jajang Edi Priyatno Sp.B., MARS
  • Wakil Ketua: Prof. dr Deby Susanti Pada Vinski , M. Sc, Ph.D
  • Sekum: dr Erfan Gustiawan, Sp.KKLP, SH, MH (Kes)
  • Wakil Sekretaris: Dr. dr H. Dahlan Gunawan M.Kes, MH, Mars
  • Bendahara Umum: dr Firman Parulian Sitanggang, Sp.Rad (K) RI, M.Kes
  • Wakil Bendahara: dr. M. Arief El Habibie, MSM
  • Dewan Pelindung: Dr. dr Siswanto Pabidang, SH, MM
  • Dewan Pengawas: Dr. dr Hendrik Sulo, M.Kes, Sp.Rad
  • Dewan Pengawas: dr Timbul Tampubolon, SH, MKK

Ketua Umum Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI) Brigjen TNI (Purn) dr Jajang Edi Priyanto menegaskan anggota yang tergabung dalam PDSI, wajib keluar dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Namun, dr Jajang membebaskan masyarakat memilih tanpa paksaan. “Pada dasarnya setelah kita deklarasikan PDSI, seluruh anggota PDSI mau tidak mau keluar dari organisasi sebelah,” jelas dr Jajang saat ditemui di kawasan Jakarta Pusat, Rabu (27/4/2022).

dr Jajang mengimbau warga untuk melihat manfaat dan visi misi PDSI yang fokus mengedepankan inovasi anak bangsa hingga target menekan biaya pendidikan kedokteran. Hal ini ditujukan agar profesi dokter di Indonesia bisa lebih banyak. “Bagi temen-temen dokter yang lain kami persilahkan untuk memilih organisasi mana yang dipandang oleh teman-teman sangat nyaman untuk diikuti,” terang dia. “Ini adalah pilihan, kalau memang di PDSI itu manfaatnya lebih banyak daripada mudharatnya, silahkan masuk ke PDSI,” sambung dia.

Ia juga tidak memaksa dokter yang memiliki pandangan sebaliknya yakni menilai manfaat keanggotaan lebih banyak didapat dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Namun, ia mengaku prihatin dengan kasus pemecatan Terawan Agus Putranto yang terungkap di ruang publik. Padahal, menurutnya hal tersebut adalah ranah internal.

“Tapi kalau banyak mudharatnya silahkan ke organisasi sebelah, tapi bagi kami bahwa PDSI berbeda dengan organisasi sebelah,” tegas dia. Sebelumnya, dr Jajang juga membuka ruang bagi Terawan jika ingin menjadi anggota PDSI seperti ‘rumah baru’.

Kurang Gizi Penyebab Kematian Terbesar COVID 19 Pada Anak


Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) merilis studi tentang kematian COVID-19 pada anak di Indonesia. Mereka mengatakan kasus kematian anak akibat COVID-19 cukup tinggi dan harus menjadi perhatian masyarakat. Berdasarkan laporan kasus COVID-19 pada anak yang dirawat oleh dokter yang tergabung dalam IDAI dalam periode Maret-Desember 2020, terdapat 37.707 kasus anak terinfeksi COVID-19.

Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Frontiers in Pediatrics pada 23 September lalu ini juga menyatakan komorbid dan gagal napas adalah penyebab utama kematian anak akibat COVID-19.

Sebagian besar anak yang meninggal dengan COVID-19 memiliki penyakit melanoma malignant (17,3%), diikuti oleh gizi buruk (18,0%) dan penyakit jantung bawaan (9,0%). Ada 62 anak terkonfirmasi COVID-19 yang meninggal tanpa penyakit penyerta.

Dua diagnosis yang paling sering dilaporkan pada kasus COVID-19 adalah gagal napas (54,5%) dan sepsis dan syok septik (23,7%). “Dalam penelitian kami, kami menemukan bahwa malnutrisi dan keganasan adalah dua dari komorbiditas yang paling umum di antara peserta,” tulis peneliti.

Malnutrisi membuat anak-anak berisiko lebih tinggi terkena infeksi karena kekebalan yang berkurang dibandingkan dengan individu yang sehat. Fokus pada penurunan angka gizi buruk pada masa kanak-kanak menjadi salah satu konsekuensi signifikan dari COVID-19 dan berdampak pada beberapa aspek terkait akses terhadap makanan bergizi.

Dari rentang usia, kematian tertinggi dalam kasus COVID-19 yang dikonfirmasi adalah dari anak-anak usia 10-18 tahun. “Ini merupakan big data kasus COVID-19 anak pertama di Indonesia. Keterbatasan utama dari penelitian ini adalah bahwa kami tidak dapat memberikan data yang komprehensif dari kasus suspek,” jelas peneliti.

Efikasi Vaksin Pfizer Ternyata Hanya 39 Persen


Penelitian nilai efikasi vaksin Pfizer-BioNTech melawan virus corona varian Delta di Israel menunjukkan data yang kontradiktif dengan hasil penelitian di Inggris. Lembaga kesehatan Israel, Kamis (22/7) menyebut Vaksin Covid-19 Pfizer hanya efektif 39 persen dalam mencegah infeksi varian Delta. Hal tersebut berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dalam beberapa pekan terakhir pada 20 Juni hingga 17 Juli.

Sementara berdasarkan jurnal yang diterbitkan di New England Journal of Medicine, menemukan bahwa dua dosis Pfizer menawarkan perlindungan 88 persen terhadap penyakit simtomatik yang disebabkan oleh varian delta dan 94 persen terhadap varian Alfa. Vaksin juga 96 persen efektif mencegah pasien Covid-19 masuk rumah sakit.

Meski demikian, Lembaga Kesehatan Israel menyebut vaksin Pfizer itu diklaim tetap bisa memberikan perlindungan yang kuat terhadap pasien rawat inap dan pasien dengan penyakit parah yang disebabkan oleh virus corona varian Delta. Berdasarkan penelitian Israel, vaksin yang dikembangkan oleh BioNTech ini 88 persen mencegah pasien masuk rumah sakit dan 91,4 persen mencegah gejala parah.

Kedua penelitian ini setidaknya sepakat bahwa vaksin Pfizer mampu mencegah gejala parah imbas Covid-19. Penelitian Israel menyebut vaksin efektif menangkal gejala parah 91,4 persen, terpaut tipis dengan hasil penelitian Inggris 96 persen. Israel sendiri merupakan negara yang mendapatkan akses vaksin Pfizer lebih awal daripada negara lain.

Selain itu, statistik Israel juga menunjukkan adanya penurunan kekebalan setelah beberapa waktu vaksinasi dilakukan. Orang yang divaksinasi pada Januari disebut hanya memiliki 16 persen perlindungan terhadap infeksi, sedangkan pada mereka yang divaksinasi pada bulan April, efektivitasnya mencapai 75 persen.

Sementara berdasarkan penelitian uji klinis Pfizer terhadap lebih dari 43.000 orang menunjukkan bahwa efektivitas terhadap infeksi simtomatik memang menurun dari waktu ke waktu. Namun, penurunan itu tidak terlalu parah seperti disebutkan Israel. Dari awalnya 95 persen dalam dua bulan pertama, menurun 80 persen empat hingga enam bulan setelah menerima dosis kedua.

Penurunan efikasi vaksin Pfizer terhadap varian Delta berdasarkan data Israel ini, kemungkinan akan memicu perdebatan tentang apakah suntikan booster wajib diberikan kepada orang yang telah divaksinasi, serti yang diminta Amerika Serikat untuk memberi vaksin booster Pfizer. Sementara seorang juru bicara BioNTech mengatakan pihaknya tengah melakukan tinjauan lebih lanjut atas data studi vaksin yang dilaporkan Israel. Padahal sebelumnya, perusahaan itu yakin bahwa penerima vaksinnya tak perlu booster.

Meski demikian, sejumlah analis memperingatkan nilai efektivitas vaksin kemungkinan bervariasi akibat berbagai faktor. Salah satunya, perbedaan pengujian kelompok orang yang divaksinasi versus mereka yang tidak disuntik, seperti dilaporkan Bloomberg.

Varian delta pertama kali muncul di India dan menyebar ke seluruh dunia ketika pemerintah berlomba untuk memberikan vaksin, yang terkadang menginfeksi mereka yang sudah divaksinasi penuh terhadap Covid. Mutasi virus dilaporkan telah memaksa beberapa negara untuk menunda atau memikirkan kembali rencana pelonggaran aktivitas dan perjalanan untuk menunjang roda bisnis.

Israel disebut memiliki upaya inokulasi paling efektif di dunia, dengan 57 persen warga negara itu telah melakukan vaksinasi penuh. Meski demikian, Israel baru-baru ini mengalami lonjakan infeksi akibat varian Delta. Kasus positif dengan kondisi kritis juga meningkat.

“Vaksin kurang efektif dalam mencegah penularan, tetapi…masih sangat efektif dalam mencegah rawat inap dan gejala yang parah, mencegah kematian,” jelas Ahli Epidemiologi Nadav Davidovitch, seorang profesor Universitas Ben-Gurion dan pemimpin serikat dokter Israel, menanggapi peningkatan kasus di negara itu seperti dikutip Times of Israel.Perdana Menteri Israel Naftali Bennett telah mendesak adanya penundaan vaksin untuk sekitar 1,1 juta orang. Ia menyebutnya bahwa vaksinasi sebagai cara paling efektif untuk mengalahkan varian delta.

Pemerintah juga telah memberlakukan kembali beberapa pembatasan untuk acara dalam ruangan dan berencana untuk melarang penerbangan ke beberapa negara dengan tingkat infeksi yang meningkat, termasuk Inggris.

Vaksin Dosis 2 Ampuh Lawan Corona Varian Delta


Studi di Inggris menemukan orang yang sudah divaksin Covid-19 sebanyak dua dosis atau suntikan lengkap diklaim ampuh hingga 60 persen melawan infeksi virus corona varian delta. Salah satu peneliti Imperial College London mengatakan orang yang sudah menerima dua dosis vaksin memiliki kemungkinan 50 persen terpapar atau positif Covid-19 saat dites. Namun faktor lain juga turut mempengaruhi seperti usia, atau seberapa berat gejala yang diidap pasien.

Sementara itu, untuk mereka yang memiliki gejala Covid-19, efektivitas vaksin meningkat menjadi sekitar 59 persen. Penelitian itu sudah dites terhadap pasien yang terinfeksi oleh varian Delta dan Alpha yang sebelumnya dominan di Inggris. “Kami sedang melihat efektivitas terhadap infeksi di antara sampel acak dari populasi umum, yang mencakup individu tanpa gejala,” menurut ahli epidemiologi Imperial Paul Elliot, mengutip Reuters Senin (9/8).

Vaksin Moderna Klaim Ampuh 93 Persen 6 Bulan Usai Dosis Kedua. Kendati demikian, penelitian tidak merinci apakah hal itu berlaku untuk efektivitas setiap vaksin Pfizer atau AstraZeneca. Otoritas kesehatan Inggris (Public Health England/PHE) meminta penelitian didasarkan pada mereka yang memiliki gejala dan diuji.

Ahli epidemiologi asal Inggris yang menjadi komando penelitian Imperial tersebut juga menemukan hubungan antara infeksi dan rawat inap, yang sebelumnya sempat menurun tetapi lonjakan kembali terjadi. Sebelumnya, menurut PHE, virus corona varian Delta membawa risiko rawat inap yang lebih tinggi, meskipun vaksin menawarkan perlindungan yang baik terhadap paparan COVID-19 yang lebih parah.

Para peneliti membeberkan, bahwa secara keseluruhan, prevalensi pada orang yang tidak divaksinasi adalah 1,21 persen, tiga kali lebih tinggi dari prevalensi 0,40 persen pada orang yang divaksinasi lengkap, dan bahwa laju penularan virus (viral load) di antara orang dengan COVID-19 juga lebih rendah pada orang yang sudah divaksinasi.

Data Efikasi Vaksin Pfizer Israel vs Inggris Kontradiktif
Pemerintah Inggris tetap meminta warga untuk memakai masker dalam dalam ruangan tertentu. Pasalnya, pihaknya melihat masih ada risiko infeksi, karena tidak ada vaksin yang 100 persen efektif. Pihaknya juga menekankan bahwa beberapa orang yang divaksinasi ganda masih bisa sakit karena virus. “Jadi, meski ada pelonggaran pembatasan, kita tetap harus bertindak dengan hati-hati untuk membantu melindungi satu sama lain dan mengekang tingkat infeksi.”

Kementerian kesehatan Inggris mengklaim kasus Covid-19 telah menurun sejak pelonggaran aturan. Sementara survei populasi menunjukkan bahwa mungkin masih bisa meningkat, meskipun pada tingkat yang lebih lambat

Produsen Vaksin Sebut Herd Immunity Sulit Terjadi


Adanya mutasi Covid-19 varian Delta disebut dapat mempersulit kekebalan komunal atau Herd Immunity. Hal itu diakui langsung oleh pengembang vaksin AstraZeneca dan Oxford. Di hadapan parlemen Inggris, Sir Andrew Pollard, seorang profesor infeksi pediatrik dan immunity di Universitas Oxford, mengatakan bahwa mencapai kekebalan komunal tidak mungkin terjadi sekarang, lantaran varian Delta.

“Kami tahu sangat jelas dengan virus corona bahwa varian saat ini, varian Delta, masih akan menginfeksi orang yang telah divaksinasi,” kata Pollard. Terlebih ia menjelaskan tidak mungkin herd immunity akan tercapai, jika virus bermutasi dan menghasilkan varian virus corona baru. Hal itu juga disebut berpotensi lebih menular pada populasi yang sudah divaksin.
Lihat Juga :

Orang yang divaksinasi masih bisa tertular varian Delta, meskipun sebagian kasus ditemukan dengan gejala lebih ringan. Beberapa ahli berharap herd immunity bisa tercapai seperti halnya campak yang juga sangat menular. Banyak negara telah mencapai kekebalan komunal pada penyakit campak, dengan memvaksinasi 95 persen populasinya, seperti Amerika Serikat (AS), di mana penularan endemik berakhir pada tahun 2000. Hasilnya jika seseorang divaksinasi campak, mereka tidak dapat menularkan virus.

Meski demikian dengan masih menyebarnya virus Corona, vaksin masih memenuhi peran utamanya yaitu melindungi dari gejala parah. Dikutip The Guardian, konsep kekebalan komunal atau populasi bergantung pada seberapa besar populasi yang memperoleh kekebalan baik melalui vaksinasi atau sebelumnya sudah terinfeksi.

Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit CDC AS, orang yang divaksinasi yang terkena varian Delta 25 kali lebih kecil kemungkinannya memiliki gejala parah atau meninggal. Mayoritas yang tertular bergejala ringan atau tidak sama sekali. Tetapi semakin banyak bukti menunjukkan bahwa dengan adanya varian Delta, orang yang divaksinasi dosis lengkap masih dapat menularkan virus.

“Kami tidak memiliki apa pun yang akan menghentikan penularan itu ke orang lain,” kata Pollard seperti dikutip Science Alert.

Data dari studi React yang baru dilakukan oleh Imperial College London, menunjukkan bahwa orang yang divaksinasi penuh berusia 18 hingga 64 tahun memiliki risiko 49 persen lebih rendah terinfeksi, dibandingkan dengan orang yang tidak divaksinasi. Temuan ini juga menunjukkan bahwa orang yang divaksinasi penuh memiliki sedikit kemungkinan positif, meskipun setelah melakukan kontak dengan orang yang terpapar virus Corona.

Israel adalah contoh yang baik dalam kekebalan komunal. Kasus positif paparan corona dilaporkan turun, setelah memvaksinasi sekitar 80 persen orang dewasa. Hal itu mendorong beberapa orang berharap bahwa capaian itu telah melampaui herd immunity, tetapi varian Delta sejak itu membawa lonjakan kasus lain.

Efikasi 96,2 Persen Vaksin Pfizer Hanya Bertahan Seminggu


Pemberian booster atau dosis ketiga vaksin COVID-19 kini direncanakan di sejumlah negara. Pasalnya, sejumlah vaksin disebut mengalami penurunan persentase efikasi dan tingkat antibodi dalam rentang waktu tertentu setelah pemberian dosis lengkap. Misalnya Pfizer. Berdasarkan riset terbaru di Israel, efikasi vaksin Pfizer berpotensi menurun hingga ke 84 persen dalam 4-6 bulan setelah pemberian dosis lengkap. Disebutkan, efikasi 96,2 persen Pfizer hanya bertahan seminggu hingga 2 bulan setelah dosis ke-2, dengan penurunan efikasi rata-rata 6 persen setiap dua bulan.

Laporan serupa datang dari vaksin Sinovac. Berdasarkan penelitian pada sampel darah usia dewasa 18-59 tahun sebanyak masing-masing 50 peserta, efikasi vaksin Sinovac disebut memudar dalam 6 bulan.

Salah seorang peneliti vaksin Oxford-AstraZeneca, Indra Rudiansyah, menjelaskan penurunan antibodi vaksin dalam jangka waktu tertentu setelah pemberian dosis lengkap adalah normal. Mengingat, vaksin AstraZeneca disebut mengalami penurunan tingkat antibodi dalam waktu 6 bulan setelah pemberian dosis lengkap.

“Jika kita tidak terpapar, antibodi tersebut lama-kelamaan akan turun dan akhirnya ada dalam batas level tertentu di mana tubuh kita tetap me-maintain antibodi tersebut. Memang jumlahnya tidak sebanyak di awal-awal vaksinasi, tapi itu sebenarnya adalah proses yang normal,” ujar mahasiswa S3 Clinical Medicine tersebut, dalam bincang bersama media secara virtual, Kamis (29/7/2021).

“Antibodi itu kan suatu protein. Protein itu juga mempunyai waktu paruh di mana lama-kelamaan kalau terlalu banyak dia akan degradasi tetapi akan diproduksi kembali ketika kita menghadapi infeksi yang sebenarnya. Sebenarnya antibodi ini adalah protein yang diproduksi oleh tubuh,” lanjut Indra yang tengah menempuh studi di Oxford University.

Indra menegaskan, fungsi paling penting dari vaksinasi adalah menghasilkan sel-sel memori yang bisa memproduksi antibodi ketika tubuh terinfeksi virus Corona di masa mendatang. Meski tingkat antibodi menurun dalam rentang waktu tertentu, vaksin dalam tubuh tetap bisa melindungi. “Meskipun antibodi dalam tubuh kita tentunya vaksin COVID-19 untuk AstraZeneca turun selama 6 bulan, tapi sebenarnya kita punya perangkat lain seperti sel memori, sel plasma yang bisa dengan reaktif sangat cepat menghasilkan antibodi dengan sangat cepat ketika kita terinfeksi,” bebernya.

Dengan begitu Indra menyebut, pemberian booster atau suntikan ke-3 vaksin AstraZeneca khususnya untuk masyarakat tidak diperlukan. Meski dosis-3 diketahui bisa menaikan level antibodi, booster tidak diperlukan mengingat 2 dosis vaksin pun sudah bisa berfungsi dan capaian vaksinasi COVID-19 di Indonesia masih terhitung amat sedikit.

“Dosis 3 saat ini sangat tidak perlu, terutama untuk masyarakat luas. Namun bagi kalangan kesehatan, mungkin itu bisa menjadi studi tersendiri bagi Indonesia untuk melihat bahwa, apakah dosis 3 itu efektif atau bisa mem-booster tenaga kesehatan setelah dosis 2? Atau tidak ada efektivitasnya sama sekali?” pungkas Indra.

Menguat Bukti COVID-19 Berasal Dari Italia Sebelum Dituduhkan Berasal Dari China


Asal usul Corona masih menjadi perdebatan para ahli. Kini, tes sampel darah yang baru dianalisis di Italia kembali memicu dugaan apakah virus Corona benar menyebar lebih dulu di Eropa, bukan di Wuhan, China. Dikutip dari Financial Times, para ilmuwan dari Istituto Nazionale Tumori Milan dalam jurnal baru yang dimuat Senin kemarin, menunjukkan pengujian ulang sejumlah sampel darah pra-pandemi di dua laboratorium. Ditemukan antibodi yang biasanya muncul setelah terinfeksi virus Corona.

“Hasil pengujian ulang ini menunjukkan bahwa apa yang kami laporkan sebelumnya pada pasien tanpa gejala adalah sinyal yang masuk akal jika sirkulasi awal virus (COVID-19) ada di Italia,” Giovanni Apolone, salah satu peneliti, mengatakan kepada Financial Times.

“Jika ini dikonfirmasi, ini akan menjelaskan ledakan kasus simtomatik yang diamati di Italia (pada 2020). SARS-CoV-2, atau versi sebelumnya, beredar diam-diam, di bawah permukaan,” katanya. Temuan antibodi virus Corona. Para peneliti mulanya menganalisis 959 pasien kanker paru-paru sebelum pandemi COVID-19 merebak. Tahun lalu, mereka menguji sampel lagi, mencari antibodi terkait virus Corona, dan mengatakan mereka telah menemukan jejak infeksi.

Atas permintaan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sampel tersebut diuji ulang oleh laboratorium VisMederi di Siena, Italia, dan fasilitas yang berafiliasi dengan WHO di Universitas Erasmus di Belanda. Marion Koopmans, kepala virologi di Erasmus, mengatakan temuan baru itu ‘menarik’. Namun, dia memperingatkan bahwa meskipun ada beberapa bukti antibodi, tidak ada sampel yang memberikan bukti konklusif tentang infeksi sebelumnya dengan COVID-19, berdasarkan kriteria ketat universitas.

“Kami menggunakan ambang batas yang agak ketat dan tidak dapat mengesampingkan bahwa beberapa reaktivitas yang diamati adalah nyata,” katanya. “Namun, untuk konfirmasi sirkulasi sebelumnya, kami akan merekomendasikan penelitian pasien dengan penyakit yang tidak dapat dijelaskan untuk konfirmasi virologi.”

Laboratorium menguji ulang 29 sampel asli Italia, beberapa positif dan beberapa negatif, bersama dengan 29 kasus di kelompok kontrol yang diselidiki dari 2018. Dari tes ini, tiga sampel ditemukan oleh Erasmus dan VisMederi positif untuk jenis antibodi terkait virus Corona, IgM, yang biasanya menunjukkan infeksi baru-baru ini. Paling awal dikumpulkan pada 10 Oktober 2019. Salah satu sampel, dari 5 Februari 2020, juga positif.

Namun, tidak ada sampel yang mengandung kadar yang cukup tinggi dari masing-masing tiga jenis antibodi yang diperlukan Erasmus untuk dianggap sebagai bukti infeksi, IgM, antibodi penetralisir, dan antibodi ketiga yang dikenal sebagai IgG.

Dalam sembilan sampel lain yang menurut VisMederi positif terinfeksi, kadar antibodi IgM berada di bawah titik batas yang ditetapkan oleh Erasmus, kata Gabriella Sozzi, salah satu peneliti Italia. Sozzi berpendapat bahwa pada periode pra-pandemi, virus mungkin kurang agresif atau menular, diperlukan untuk menggunakan tes yang sangat sensitif lantaran ada risiko menemukan kasus ‘positif palsu’.

Koopmans mengatakan kriteria ketat Universitas Erasmus diperlukan untuk meyakinkan apakah pandemi dimulai lebih awal dari yang diperkirakan saat ini.

“Bukan berarti tidak mungkin,” katanya.

“Hanya saja Anda ingin melihat bukti lain.”

Jurnal di Italia yang belum peer reviewed, tidak menjawab pertanyaan dari mana asal virus Corona baru, tetapi temuan tersebut kemungkinan akan memicu perdebatan apakah COVID-19 beredar di Italia atau di tempat lain sebelum kasus pertama yang dikonfirmasi Wuhan pada Desember 2019.

Virus Monkey B Menular Pada Manusia Ditemukan Di China


China melaporkan kasus pertama infeksi virus Monkey B pada manusia, berakhir tewas. Adalah dokter berusia 53 tahun terpapar virus Monkey B saat sehari-hari bekerja meneliti hewan primata. Dikutip dari Times of India, Pusat dan Pengendalian Pencegahan Penyakit (CDC) China mengungkap gejala dari virus Monkey B mirip dengan flu. Gejala virus Monkey B biasanya muncul 1-3 minggu setelah terpapar virus.

Apa itu virus Monkey B? Dikutip dari Global Times, virus Monkey B awalnya diisolasi pada tahun 1932. Adalah enzootic alphaherpesvirus di kera dari genus Macaca.

Apa saja gejala virus Monkey B?

  • Demam
  • Kedinginan
  • Nyeri otot
  • Kelelahan

Seperti yang terjadi pada dokter di China yang wafat karena virus Monkey B. Dirinya mengeluhkan gejala awal mual dan muntah dan kondisi memburuk hingga dibawa ke beberapa rumah sakit tetapi tak berhasil selamat, meninggal di 27 Mei lalu. “Dokter yang berusia 53 tahun itu mulanya mengeluhkan gejala awal mual dan muntah, sebulan setelah ia membedah dua monyet mati di awal Maret,” bebernya.

Bagaimana virus Monkey B menular?
Virus Monkey B dapat menular saat kontak langsung dan adanya pertukaran cairan tubuh, disebut memiliki angka kematian 70 persen hingga 80 persen. Maka dari itu, yang paling berisiko ialah para pekerja seperti dokter hewan primata, personel perawatan hewan, atau peneliti laboratorium.

Apa bahayanya virus Monkey B?
Dikutip dari The Hindustan Times, sebuah laporan yang dimuat di Perpustakaan Kedokteran Nasional Amerika Serikat, menyebut virus Monkey B cenderung menyerang sistem saraf pusat ketika ditularkan ke manusia.