Kini Komunitas Pecinta Capung Indonesia telah Lahir


Tabita Makitan, 18 tahun, berendam di air Sungai Wendit, Pakis, Malang, yang sedalam pahanya, pagi itu. Cuacanya cukup dingin dan masih banyak embun menempel di dedaunan. Meski dingin, ia rela berbasah-basah demi mendokumentasikan metamorfosis nimfa menjadi capung muda.

Usahanya tidak sia-sia. Ia berhasil mendapati nimfa merayap keluar dari air melalui ranting tanaman. Bergegas ia menjepret momen itu dengan kamera digital. “Saya mengamatinya dari jarak 2 meter,” kata Tabita, pekan lalu.

Nimfa adalah salah satu dari tiga tahap siklus hidup capung, yaitu sesudah menjadi telur dan sebelum menjadi capung dewasa. Sebagian besar siklus capung dalam bentuk nimfa. Menurut Tabita, nimfa itu wujudnya mirip jangkrik. Sifat dan bentuknya sama dengan capung dewasa, hanya hidupnya di air.

Aktivitas seperti yang dilakukan Tabita adalah salah satu kegiatan Departemen Penelitian dan Pengembangan Indonesia Dragonfly Society (IDS). Tabita adalah anggota organisasi pencinta capung yang berdiri pada September 2010 itu.

Awalnya, organisasi ini bernama Dempo Dragonfly Society (DDS). Diganti menjadi IDS setahun kemudian. Nama Dempo dipakai karena komunitas ini dirintis oleh Sekolah Menengah Atas Kejuruan (SMAK) Saint Albertus, Malang, yang dikenal dengan sebutan SMAK Dempo, sesuai dengan nama jalan di dekat sekolah tersebut.

Adalah Wahyu Sigit Rgd., Ketua IDS, yang memperkenalkan Tabita dengan capung. Guru sosiologi di SMAK Saint Albertus inilah yang merintis DDS. Wahyu mengajak klub fotografi sekolah memburu capung. Beberapa orang itu kemudian sepakat menjaga kelestarian pusaka alam melalui capung sebagai fokus kegiatannya.

Minimal satu minggu sekali IDS menyusuri Sungai Wendit. Selain memakai kamera foto untuk pengamatan, senjata lainnya adalah jaring serangga, pH meter, serta pengukur kelembapan udara. Observasi dimulai pukul 07.00 dan berakhir pukul 12.00. “Jangkauan pengamatan sekitar seribu meter di sepanjang aliran sungai,” kata Wahyu, pekan lalu.

Ketua Departemen Penelitian dan Pengembangan IDS, Nur Christian, mencatat sampai kini terdapat 32 spesies capung (capung jarum dan capung besar) di Sungai Wendit dan sekitarnya. Tiga di antaranya belum diketahui jenisnya. Hasil observasi itu kemudian dilaporkan ke World Dragonflies Association (WDA) untuk identifikasi.

Tantangan lainnya adalah identifikasi. Pasalnya, belum ada buku referensi tentang capung Indonesia. Peneliti biasanya meminta bantuan entomolog dalam mengidentifikasinya. Atau mencari buku identifikasi ordo Odonata (segala jenis capung) yang iklimnya mirip dengan di Indonesia.

Selama IDS dibentuk, baru 20-an orang bergabung. Mereka tersebar di Malang dan Yogyakarta. Kantor IDS berada di Jalan Gresik Nomor 14, Malang, Jawa Timur. Sedangkan di Yogyakarta baru dirintis oleh Tabita, yang kuliah antropologi di Universitas Gadjah Mada. Artikel penelitian IDS bisa dilihat di http://www.indonesiadragonfly.wordpress.com atau di laman jejaring sosial Facebook (Odonata Nusantara) dan akun Twitter (@IDS_dragonfly).

Anggotanya mahasiswa, guru, dosen, serta kaum profesional. Ada juga budayawan, seperti Eka Budianta. Selain meneliti, mereka melakukan transformasi pengetahuan ke sekolah formal dan komunitas. Mereka juga mengeksplorasi persepsi dan kedekatan masyarakat terhadap capung, seperti cerita rakyat, mitos, dan legenda capung. Pada Juni 2012, IDS menggelar Festival Capung dengan tema “Saatnya Mencintai Capung di Negeri Sendiri”.

Pencinta capung terwadahi dengan adanya Kongres Capung Sedunia (International Congress of Odonatology), yang digelar oleh WDA setiap tahun. Tahun ini diadakan pada 28 Juli hingga 2 Agustus 2012 di Odawara, Jepang. “Saya dan Nur mengikuti kongres tersebut pertama kalinya atas nama Indonesia Dragonfly Society, bukan atas nama pribadi,” kata Tabita.

Dalam kongres, ia dan Nur akan mempresentasikan hasil penelitian capung di Malang. Sebenarnya keinginan mengikuti kongres sudah ada sejak tahun lalu. Salah satu usaha IDS adalah mengirim surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ternyata surat itu direspons positif. Tabita berharap usahanya didukung pemerintah. “Jangan sampai capung di Indonesia punah,” ujarnya.

Tinggalkan komentar